Selayang Pandang Masjid Jami' Kajen dan beberapa Petilasan KH Ahmad Mutamakkin
Syeh Ahmad Mutamakkin adalah seorang waliyullah yang
melintasi perjalanan ritual yang tinggi, beliau telah berjasa besar dalam
perintisan dan penyebaran agama islam di tanah jawa khusunya di desa kajen dan
sekitarnya. Dalam perjalanan di desa Kajen Mbah Mutamakkin mengawali dakwahnya
dengan mendirikan sebuah masjid, yang biasa di sebut Masjid Jami’ Kajen. Dan
inilah salah satu peninggalan bukti sejarah beliau yang masih dapat di jumpai.
Masjid Jami’ Kajen yang terletak di jantung desa Kajen
ini adalah salah satu masjid di Kabupaten Pati yang masih terlihat
mempertahankan arsitektur yang kuno. Nuansa tempo dulu masih terlihat pada
masjid yang didirikan oleh KH Ahmad Mutamakkin itu. Menurut pengurus masjid
kajen yakni KH Muadz Thohir, selama ini
Masjid Jami’ Kajen telah mengalami perubahan sekitar 4 atau 5 kali, diantaranya
pada masa KH Ali Mukhtar, KH Salam, KH Fahrozi. Dulunya masjid itu berbentuk
persegi. Masjid itu di tambah sayap (serambi masjid) atau keliling masjid
sehingga menjadi lebih lebar. Renovasi bagian masjid terakhir kali di lakukan
pada tahun 1960-an yang di pelopori oleh KH Fahrozi. “Saat itu hanya bagian
samping yang di perbaiki.” tuturnya. Sementara itu dinding bagian depan, sampai
saat ini masih tetap menggunakan kayu. Bahkan sebagian kayu yang menjadi bagian
bangunan masjid, sudah berusia ratusan tahun. Meskipun sudah dimakan usia, kayu
yang mendominasi bangunan masjid masih terlihat cukup kuat. Selain banyak
didominasi kayu, nuansa kuno pada bangunan Masjid Kajen juga bisa di lihat pada
lantai masjid yang masih menggunakan tegel. Bentuk tegel yang sederhana di
masjid tadi telah berubah menjadi mengkilap, karena umurnya sudah lebih dari
ratusan tahun. Yang menjadi menarik adalah dari dulu sampai sekarang belum ada
yang tau pasti kapan berdirinya Masjid Jami’ Kajen, namun seorang ahli arkeolog pernah meneliti bahwa terdapat
sejarah pembangunan Masjid Jami’ Kajen, pada ornamen-ornamen yang terdapat di
mimbar masjid dan bagian depan masjid.
Beberapa peninggalan dari
Masjid Jami’ Kajen yang masih asli sampai saat ini antara lain :
·
Mimbar Masjid, mimbar yang terbuat
dari kayu jati yang di pahat rapi itu di yakini oleh masyarakat desa Kajen
adalah buah karya Mbah Mutamakkin sendiri. Ornament
mimbar tersebut sarat dengan motif-motif yang tinggi nilai seninya. Banyak
penafsir yang berkembang atas pelambangan yang terdapat di mimbar tersebut.
Salah satunya adalah ”Bulan sabit yang di patuk burung bangau.” Simbolis ini di
maknai sebagai suatu semangat dan do’a
bagi para anak cucunya. Menurut KH Husain Abdul Jabar yakni “kita sebagai anak
cucu, orang kajen, dan para santri yang ada di desa kajen, harus memiliki
cita-cita yang tinggi. Meskipun kakinya menyentuh tanah tetapi cita-citanya
setinggi bulan dengan usahanya pun setinggi bulan.”
Mimbar itu di depan kanan
kirinya berupa ukiran ular naga yang tak utuh seluruh tubuhnya. Ada yang
mempercayai dua kepala ular naga tersebut adalah naga milik Aji Saka (tokoh
legenda sejarah masuknya Islam di Tanah Jawa yang di anggap juga seletak
penaggalan tahun saka). Menurut KH Husain Abdul Jabar kedua ular naga itu
berbeda jenis kelamin, yang satu laki-laki dan satunya lagi perempuan. Itu
menggambarkan bahwa orang kajen atau anak turunnya Mbah Mutamakkin itu berupa
laki-laki dan perempuan. Dan dapat bertahan hidup seperti ular, yang mana ular
betah bertahan untuk tidak makan berhari-hari. Terbukti dengan kehidupan
masyarakat Kajen yang mayoritas tercukupi, padahal tak ada areal persawahan
sebagai tempat bercocok tanam.
·
Dua tiang penyangga yang terletak di
paling depan atau biasa di sebut soko nganten. Dari hasil wawancara kami
dengan salah satu sesepuh kajen Mbah Toyib penjaga masjid kajen, “soko nganten
itu salah satu bangunan yang masih asli dari pendirinya Mbah Mutamakkin,
sebenarnya soko nganten itu ada 4 yang 2 itu di taruh (ditempelkan) di bawah
mimbar.” Tuturnya.
·
Empat tiang penyangga atau biasa di
sebut soko gulu. Menurut KH Muadz Thohir, soko gulu ini mempunyai arti
“hati”.
·
Kaligrafi yang terletak diatap tengah
masjid. Ini diyakini mempunyai filosofis dan sufistik yang tinggi.
·
Sumur yang berada di sebelah selatan
masjid. Sumur ini pernah di tutup waktu perenovasian masjid, dan sekarang sumur
ini di buka kembali, dan biasa dari air sumur ini di ambil para masyarakat
sekitar untuk dijadikan obat. Konon cerita dari salah satu warga desa kajen.
·
Bagian depan imam, di situ terdapat
pesan dari KH Ahmad Mutamakkin yang tertulis (menggunakan arab pegon)
“Sing pendetku ngusap ing mbun”. Artinya, bahwa yang merasa keturunan KH Ahmad
Mutamakkin harus ngusap ing mbun (maksutnya wudlu), yakni wajib melakukan
sholat 5 waktu.
·
Tempat muadzin yang berada di lantai
dua.
Dari
penafsiran-penafsiran di atas belum sepenuhnya benar dengan yang di maksut oleh
sang perintis KH Ahmad Mutamakkin. Sebab karya Beliau memang sangat tinggi
nilainya, sehingga sedikit dan tidak banyak para penafsir yang tidak bisa
menafsirkan karya-karya KH Ahmad Mutamakkin.
Pada hari
sabtu tanggal 16 Januari 2010 masjid ini di bangun kembali, yang di ketuai oleh
KH Ahmad Muadz Thohir, dengan mendatangkan seorang arsitek dari kota Surabaya
yang bernama Ir. Budi (orang kongguchu). Dalam kurun waktu sekitar 4 bulan
pembangunan masjid tahap pertama selesai, mencapai target yang telah di
tentukan. Yaitu sebelum bulan Romadhon, dari rencana pembangunan masjid
tersebut baru mencapai sepertiga dari keseluruhannya. Sampai saat ini
pembangunan masjid tersebut menghabiskan dana sekitar 1,2 Miliyar, yang
bersumber dari uang kas murni makam KH Ahmad Mutamakkin.
Dalam pembangungan kali ini, tidak akan merubah bentuk
masjid bagian dalam, sebab untuk menjaga keaslian dan melestarikan
peninggalan-peninggalan dari masjid jami’ kajen yang memiliki nilai arsitektur
kuno yang tinggi. Yaitu dari batas lantai yang bermotif batik.
Rencana dari pembangunan masjid tersebut akan terdapat
dua menara yang berada di timur laut dan barat daya, di sertai pula dengan dua
lantai berbentuk U yang mengelilingi bangunan lama masjid. Serta pembangunan
kembali tempat wudlu yang berada di sebelah selatan masjid dan juga akan di
hiasi dengan taman yang ada di sebelah timur masjid untuk memperindah masjid
dan juga tempat istirahat untuk para jama’ah. Di sebelah utara masjid sudah
terdapat tempat wudlu disertai aula untuk remaja Masjid Jami’ Kajen.
Disamping dari
pembangunan Masjid Jami’ Kajen yang bermotif klasik, terdapat beberapa adat
yang masih melekat samapai sekarang, diantaranya adalah :
Penyampaian
Khotbah oleh Khotib pada hari jum’at, menggunakan bahasa Arab, baik khotbah
yang pertama maupun khotbah yang kedua. Waktu khotbah biasanya juga lebih
singkat, sehingga jama’ah yang tidak datang ke masjid setelah adzan akan
ketinggalan mengikuti sholat jum’at.
Pelaksanaan
sholat Tarawih pada bulan puasa dilaksanakan dua kelompok, yaitu : Tadris dan Qodo. Tadris menjalankan
sholat tarawih dengan bacaan Al-Qur’an sebanyak satu juz, sedangkan Qodo menjalankan sholat tarawih di
serambi masjid dengan membaca surat-surat pendek.
Pada hari
senin malam selasa, diadakan pengajian di masjid. Untuk sekarang ini pengajian
ini dipimpin oleh KH Nafi’ Abdillah.
Pada bulan Ramadhan
juga diadakan rutinitas, yaitu pengajian setelah sholat Shubuh dan sholat
Ashar.
Untuk
pemilihan Imam dan Khotib sholat jum’at di masjid jami’ kajen di lakukan secara
musyawaroh oleh ulama-ulama desa
Kajen. Dan pemilihan sholat Ashar, Maghrib, Isya’, Shubuh, dan Dzuhur langsung
di tunjuk oleh seorang Nadzir.
Selain untuk
Sholat dimasjid ini juga sangat mudah di jumpai sejumlah santri yang sedang
menghafalkan Al-Qur’an.
Atas jerih
payah dan perjuangan KH Ahmad Mutamakkin inilah tanah Kajen yang dulunya kering
akan nilai-nilai keagamaan sekarang telah berubah menjadi sebuah Desa yang
kental akan nuansa religi di setiap
sudutnya. Dan di desa Kajen ini dari dulu tak pernah istirahat dari berbagai
aktifitas keagamaan sampai sekarang.
Wallahu a’lamu bisshowab !
Sumber : Wawancara
dengan KH Husain Abdul Jabar (Pengasuh Pondok Pesantren An-Noor), KH
Ahmad Muadz Thohir (Pengurus Masjis Jami’ Kajen), Mbah H. Thoyib (sesepuh desa
Kajen), dan beberapa masyarakat yang ada di desa Kajen.
Konon kepala naganya pernah dipotong ya min?
ReplyDeleteSaya blm pernah denger mas
ReplyDelete