“Peran Kiai dalam Advokasi Agama Minoritas ; Studi atas Agama Baha’i Di Desa Cebolek, Kec. Margoyoso”

A.    Latar Belakang
Indonesia merupakan negara ke empat terbesar di dunia, yang mencakup penduduk muslim terbesar ( lebih banyak dari seluruh warga Timur Tengah ), namun sangat kurang terwakili dalam wacana internasional tentang agama. Ironisnya, menurut jajak pendapat Gallop baru – baru ini, Indonesia adalah negara yang paling religius di dunia. Namun dalam diskusi tentang agama, suara indonesia jarang terdengar secara international.
Indonesia adalah salah satu negara paling beragam di dunia, baik secara agama maupun budaya . dengan 17.000 pulau, di indonesia terdapat ratusan bahasa, budaya, dan agama. Keragaman agama di indonesia adalah kekayaan nasional yang kurang di hargai. Di sini tidak hanya keragaman agama yang sangat besar, bahkan di kalangan kaum muslim indonesia juga terdapat keragaman terbesar di dunia. Sebuah tradisi toleransi dan jaminan konstitusional dalam kebebasan beragama memberikan perlindungan struktural bagi tumbuhnya berbagai cara menafsirkan dan mempraktikkan ekspresi keagamaan di indonesia.
Indonesia memiliki sejarah kuno yang panjang dalam menghadapi keragaman. Indonesia relatif sukses dalam mengelola keragaman yang besar dalam budaya dan agama selama dua ribu tahun. Pengalaman panjang ini merupakan modal sosial yang kaya, yang memberikan isyarat baik bagi masa depan. Hal ini membangkitkan banyak mekanisme kelembagaan dalam menangani keragaman yang sangat berbeda dengan lembaga – lembaga Barat.[1]
Dengan adanya cukup banyak ragam persoalan terkait keragaman agama sebagaimana di gambarkan  di atas, diperlukan pula kejelasan dan kejelian mengkonstruksi strategi advokasi yang sesuai. Tanpa kejelasan seperti ini, terkadang tampak seperti ada anggapan sederhanabahwa semua masalah akan selesai dengan membuat semua orang menjadi “pluralis” atau toleran. Melanjutkan contoh yang digunakan di atas, penyebutan masalah utama keragaman di Indonesia sebagai  “meningkatnya intoleransi”, misalnya, bisa jadi menyesatkan, karena mengandaikan bahwa sumber masalah ada pada sikap individual itu (toleran atau intoleran). Sikap seperti itu tentu amat berpengaruh, dan bisa serta perlu diupayakan untuk diubah; namun mungkinbukan di situ inti masalahnya, karena kapan pun dan dimana pun intoleransi ada. Jelas bahwa dalam banyak hal, masalahnya sebetulnya menyangkut juga struktur hukum dan implementasinya yang memberi peluang bagi realisasi sikap intoleran itu.
Dalam kenyataanya, setiap masalah terkait keragaman agama di atas memiliki banyak dimensi,dan hanya bisa ditanggapi dengan baik dengan suatu strategi (atau kumpulan strategi) yang mempertimbangkan banyak dimensi itu.
Pada titik inilah muncul beragam strategi advokasi untuk pluralisme dan kebebasan beragama dan berkeyakinan, yang memenuhi tujuan-tujuan spesifik dalam gambaran besar problem keragamanIndonesia, sebagian bersinergi satu dengan lainnya, ada pula yang lebih efektif untuk tujuan tertentu dan tidak semuanya selalu efektif, bahkan terkadang mungkin bisa saling melemahkan. Dalam rentang 15 tahun terakhir ini saja telah tampak adanya perkembangan dalamtahap-tahapnya, ada beberapa kecenderungan yang meiliki karakter berbeda-beda.[2]
Terkait keragaman di atas di sebuah desa pesisir utara Pati  yaitu di desa Cebolek ada sebuah kelompok agama yang menamakan dirinya dengan Baha’i, dalam perjalanannya kelompok ini bisa berbaur dan bersinergi dengan komunitas (islam) di sekitarnya.
Dalam  Wekepidia di jelaskan Bahá'í (bahasa Arab: ﺑﻬﺎﺋﻴﺔ ; Baha'iyyah) adalah agama monoteistik yang menekankan pada kesatuan spiritual bagi seluruh umat manusia. Agama Baha'i lahir di Persia (sekarang Iran) pada abad 19. Pendirinya bernama Bahá'u'lláh. Pada awal abad kedua puluh satu, jumlah penganut Bahá'í mencapai sekitar enam juta orang yang berdiam di lebih dari dua ratus negera di seluruh dunia.
Dalam ajaran Bahá'í, sejarah keagamaan dipandang sebagai suatu proses pendidikan bagi umat manusia melalui para utusan Tuhan yang disebut para "Perwujudan Tuhan". Bahá'u'lláh dianggap sebagai Perwujudan Tuhan yang terbaru. Dia mengaku sebagai pendidik Ilahi yang telah dijanjikan bagi semua umat dan yang dinubuatkan dalam agama Kristen, Islam, Buddha, dan agama-agama lainnya. Dia menyatakan bahwa misinya adalah untuk meletakkan pondasi bagi persatuan seluruh dunia, serta memulai suatu zaman perdamaian dan keadilan, yang dipercayai umat Bahá'í pasti akan datang.[3]
Yang menjadi dasar ajaran Bahá'í adalah asas-asas keesaan Tuhan, kesatuanagama, dan persatuan umat manusia. Pengaruh dari asas-asas hakiki ini dapat dilihat pada semua ajaran kerohanian dan sosial lainnya dalam agama Bahá'í. Misalnya, orang-orang Bahá'í tidak menganggap "persatuan" sebagai suatu tujuan akhir yang hanya akan dicapai setelah banyak masalah lainnya diselesaikan lebih dahulu, tetapi sebaliknya mereka memandang persatuan sebagai langkah pertama untuk memecahkan masalah-masalah itu. Hal ini tampak dalam ajaran sosial Bahá'í yang menganjurkan agar semua masalah masyarakat diselesaikan melalui prosesmusyawarah. Sebagaimana dinyatakan Bahá'u'lláh: "Begitu kuatnya cahaya persatuan, sehingga dapat menerangi seluruh bumi."
Namun, pada suatu saat ketika ada salah satu tokoh kunci dari Agama Baha’i itu meninggal timbullah polemik yang berkepanjangan untuk memakamkan jenazah ini, tetapi sebagian besar masyarakat setuju untuk tidak memakamkan jenazah itu di kuburan muslim. Sementara itu, kelompok kecil masyarakat bersikukuh agar  jenazah di makamkan di area pemakaman muslim. Pada akhirnya keputusan rapat yang di ambil dari musyawarah desa  yang melibatkan unsur Camat, Kepala Desa, Tokoh Agama, Ketua RT, dan kelompok Baha’i serta beberapa warga muslim lain memutuskan agar jenazah ini di kuburkan di pemakaman yang jauh dari pemukiman warga yaitu di tambak cebolek.
Keputusan ini bukan tanpa sebab, karena jika jenazah ini di makamkan di area pemakaman muslim maka tidak sedikit resistensi yang di lakukan oleh mayoritas masyakat, di sisi yang lain jika jenazah terpaksa harus di makamkan di rumahnya sendiri harus melewati proses prosedur yang rumit dan formalistis. Karena itu salah satu tokoh agama ( Kiai ) desa itu kemudian menjadi mediator untuk memberikan solusi yang cerdas dengan memakamkan jenazah tersebut di tempat yang di sepakati oleh semua kalangan termsuk kelompok Baha’i sendiri. [4]
Advokasi ini menjadi pilot project yang manarik bahwa tokoh masyarakat mampu tampil sebagai mediatior yang baik, selain itu masyarakat muslim yang ada di desa cebolek pun mampu menunjukkan sikap toleransi yang tinggi dalam menghormati perbedaan dan keragaman yang ada di dalam komunitas sosialnya. bandingkan dengan  beberapaisu yang menonjol dan tak terselesaikan selama bertahun-tahun, hinggamenjadi perhatian dunia internasional, adalah terkait dengan JamaahAhmadiyah Indonesia (JAI), dan belakangan mengenai kelompokSyiah juga (khususnya di Sampang, Madura), GKI Taman yasmin,Bogor, KHBP Filadelfia[5]. Meskipun populasi komunitas penganut Agama Baha’i di Cebolek sangat sedikit, hanya 25 orang tetapi mereka bisa menghirup udara bebas dalam mengekspresikan agamanya. dari uraian di atas, maka penulis mencoba membahas permasalahan itu dengan judul “ Peran KiaiDalam Advokasi Agama Minoritas ; Studi Atas Agama Baha’i di Desa Cebolek Kec. Margoyoso Kab. Pati”.


B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan urian latar belakang diatas, maka rumusan permasalahan sebagai berikut :
1.      Bagaimana Pola advokasi yang di kembangkan oleh tokoh agama ( Kiai ) dalam mengawal keberlangsungan Agama Baha’i di desa Cebolek ?
2.      Problematika apa yang muncul dalam proses Advokasi terhadap Agama Baha’i di Cebolek ?
3.      Bagaimana keberhasilan yang di tempuh dari pola advokasi yang di laksanakan oleh Tokoh Agama terhadap agama Baha’i ?

C.    Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1.      Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan advokasi yang di lakukan oleh tokoh agama ( Kiai ) terhadap agama Baha’i di desa Cebolek.
2.      Untuk mengetahui problematika yang muncul dalam advokasi yang di lakukan oleh tokoh agama ( Kiai ) terhadap agama Baha’i di desa Cebolek.
3.      Untuk mengetahui keberhasilan advokasi yang di lakukan oleh tokoh agama ( Kiai ) terhadap agama Baha’i di desa Cebolek.
4.      Memberikan pilot project tentang pola advokasi yang baik sehingga mampu menciptakan harmoni.

D.    Manfaat Penelitian
Penelitian ini di harapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis.
1.      Manfaat secara teoritis
a.       Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa sumbangan pemikiran kepada dunia akademik maupun jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, pengelola bidang pengembangan masyarakat, terutama pemangku kebijakan, dan tokoh agama ( Kiai ) agar mampu menjadi pioner dalam menyelesaikan persoalan minoritas dengan cara yang baik dan elegan.
b.      Dapat menambah pengetahuan dan wawasan dan mempertajam pemahaman terkait permasalahan yang di teliti.
2.      Manfaat praktis
a.       Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam rangka memberikan berbagai pola /model yang efektif dalam melakukan sebuah langkah advokasi terutama kepada kaum minoritas.
b.      Penelitian ini di harapkan dapat menambah refrensi dan sebagai bahan kajian bagi peneliti lain yang tertarik melanjutkan riset di bidang advokasi agama.
c.       Penelitian ini diharapkan mampu menjadi pilot project bagaimana seorang tokoh agama ( Kiai ) mampu berperan dengan baik dalam menjalankan advokasi agama terutama kepada kaum minoritas serta memberikan pendidikan kepada masyarakat akan pentingnya nilai – nilai toleransi, harmoni, dan sikap dewasa dalam beragama.

E.     Telaah Pustaka
Dalam penelitian kali ini penulis mencoba memberikan kontribusi pemikiran melalui tulisan yang mengambil judul “ Peran Kiai Dalam  Advokasi  Agama Minoritas ; Studi Atas Agama Baha’i di Desa Cebolek”
Kajian tentang advokasi banyak sekali sudah di teliti oleh orang lain di antaranya adalah sebagai berikut :
Penelitian Dr. Rosyid dari STAIN Kudus, hasil penelitian ini adalah agama Baha’i adalah bagian dari Islam, artinya orang Baha’i adalah seorang muslim. Ia menelisik lebih jauh tentang dasar teologis kelompok Baha’i ini. Penulis tidak banyak menyinggung tentang beberapa proses advokasi yang pernah di perankan oleh tokoh agama ( Kiai ) yang sebenarnya mempunyai andil besar dalam keberhasilannya melakukan advokasi. [6]
Edi Susanto: Skripsi dengan judul Peran advokasi perawat, Perawat pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi peran perawat dalam merawat pasien di Rumah Sakit Umum Daerah Langsa. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan jumlah sampel sebanyak 70 responden. Untuk mengetahui karakteristik responden dicari persentase dan frekuensi, begitu juga untuk karakteristik peran advokasi perawat dalam merawat pasien dicari persentase dan frekuensi dengan menggunakan instrument penelitian berupa kuesioner yang berisikan pernyataan yangdilakukan oleh seorang perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan di rumah sakit. Statistik univariat digunakan untuk menganalisa variabel peran advokasi perawat dan dianalisa menggunakan skala ordinal yang ditampilkan dalam distribusi frekuensi.[7]
Muhammad Ridlo: Skripsi Kinerja Pekerjaan sosial dalam Advokasi anak yang berhadapan dengan hukum. penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif dengan metode pengumpulan data wawancara, observasi, dan dokumentasi. Kemudian dari hasil pengumpulan data tersebut akan dilakukan analisis data yang dimana didalamnya terdapat reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan, serta penulis akan menguji keabsahan datanya dengan metode triangulasi data.
Dalam penelitian ini penulis akan mendeskripsikan bagiaman kinerja pekerja sosial dilihat dari lima indikator kinerja yakni produktivitas, respon sivitas,tanggung jawab, kerja sama, dan kepemimpinan, serta faktor apa saja yang dapat mempengaruhi terhadap lima indikator tersebut.
Dari hasil pengumpulan data melalui observasi, wawancara, serta dokumentasi, menunjukan bahwa dari lima indikator sebagai mana yang telah disebutkan di atas pekerja sosial telah melakukan advokasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum sesuai dengan profesionalitas pekerja sosial, namun demikan pekerja sosial masih memiliki kekurangan. Sikap profesional pekerja sosial serta kekurangan tersebut dipengaruhi oleh faktor faktor yang mempengaruhi kinerja pekerja sosial, yakni faktor individu, kepemimpinan, tim, sistem, dan faktor kontekstual atau faktor situasional yang terjadi pada saat itu.[8]
Robert W. Hafner, Ihsan Ali Fauzi dengan judul :[9] “ Mengelola Keragaman dan Kebebasan Beragama di Indonesia : Sejarah, Teori dan Advokasi” . dalam penelitian ini penulis tidak hanya memaparkan beberapa data yang telah di dapatkan selama beberapa tahun di bawah CRCS ( Center for Religious and Cross – Cultural Studies ) sekolah Pascasarjana  Universitas Gadjah Mada . hasil penelitian ini lebih banyak menyoroti isu – isu yang berkembang di indonesia terkait tentang pluralisme agama. Dan memaparkan beberapa data mutakahir tentang kekerasan agama, konflik agama, dan kekerasan yang bersifat komunal di masyarakat. Belum ada penelitian secara spesifik tentang advokasi kepada kaum minoritas terutama Baha’i.
Melihat dari beberapa pustaka diatas belum ada yang meneliti tentang advokasi agama yang lebih spesifik, apalagi peran itu yang menjalankan adalah tokoh agama. Sedangkan kajian pustaka yang kedua lebih berbicara secara global tentang keragaman dan pluralisme yang ada di indonesia.
Adapun posisi penelitian ini adalah untuk menyeldiki Pola Advokasi yang di lakukan oleh Tokoh Agama ( Kiai ) dalam menyeleasikan problematika Kelompok Agama minoritas. Oleh sebab itu sangat penting untuk mengukur keberhasilan yang di capai oleh tokoh agama ini.

F.     Landasan Teoritis

Advokasi, mungkin merupakan kata yang cukup tidak asing dikalangan kita. Namun, tidak sedikit diantara mereka yang kurang memahami arti sebenarnya dari kata advokasi tersebut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, advokasi dapat diartikan sebagai sebuah pembelaan.
Setidaknya ada beberapa tipe advokasi yang telah muncul terkait isu keragaman selama ini di Indonesia. Pertama, advokasi yang sifatnya jangka panjang dan memiliki sasaran peningkatan kesadaran atau pendidikan publik.   Dari segi pendekatan atau materi advokasi, setidaknya ada dua jenis advokasi ini berdasarkan jenis argumennya. (i) Yang menekankan pada pengubahan sikap individu atau kelompok terhadap kelompok yang lain dengan argumen tekstual keagamaan, mengadvokasi sikap yang lebih inklusif terhadap the religious other, baik antar maupun intraagama. (ii) Yang memberikan penekanan pada argumen sivik (termasuk argumen kebebasan beragama dan berkeyakinan), dengan penekanan pada ide kewarganegaraan yang setara—tak peduli apakah keyakinan seseorang itu “sesat” atau tidak, termasuk dalam kategori suatu “agama” tertentu atau tidak—semua harus diperlakukan sebagai warga negara yang setara. Secara umum, kedua jenis advokasi itu bisa menggunakan beragam media dan metode, mulai dari kampanye, penelitian, penerbitan buku, dialog elit atau akar-rumput, live-in di suatu komunitas, dan sebagainya.

Kedua, advokasi kebijakan, yang menyasar kebijakan tertentu (misalnya, UU Penodaan Agama, UU Anti-Pornografi, UU Kesehatan, UU Zakat, RUU Produk Halal, juga regulasi-regulasi seperti peraturan pendirian rumah ibadah), yang bisa mengambil bentuk mulai dari melakukan lobi-lobi politik ke pemerintah ataupun parlemen, pengajuan suatu regulasi ke PUTN, sampai pengajuan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Ketiga, advokasi yang lebih terpusat pada kasus, menyasar isu isu yang lebih immediate. Setidaknya di Indonesia kita bisa melihat ada dua jenis advokasi ini. (i) Advokasi legal, khususnya litigasi, yang mengangkat kasus-kasus hukum tertentu, misalnya tuduhan penodaan agama terhadap individu-individu tertentu, baik perseorangan atau mewakili kelompok; atau kasus pendirian rumah ibadah. (ii) Advokasi yang disebut sebagai berbasis-kepentingan, seperti resolusi konflik atau mediasi untuk kasus-kasus konflik di masyarakat, yang sebabnya bisa beragam.[10]
A.    Tabel 2. Lapis-lapis Advokasi
1. Pendidikan publik / peningkatan kesadaran:
(i) Menggunakan argumen keagamaan untuk memupuk sikap inklusif terhadap the religious others.
(ii) Menggunakan argumen sivik tentang kesetaraan warga negara apapun pandangan dan keyakinan keagamaannya.
2. Advokasi kebijakan:
(i) Advokasi kebijakan, terhadap UU atau regulasi tertentu
3. Advokasi kasus spesifik:
(i) Advokasi legal (litigasi, mediasi) atas kasus-kasus hukum tertentu (misalnya tuduhan penodaan agama, pembangunan rumah ibadah).
(ii) Advokasi penyelesaian konflik atas kasus-kasus konflik tertentu Pengelompokan jenis advokasi itu berbeda dari pengelompokan yang muncul di Bab 1 buku kedua (Rizal Panggabean) yang menyebut tiga pendekatan advokasi untuk penanganan konflik, yaitu yang berbasis hak, berbasis kepentingan, dan berbasis kekuasaan. Dalam memetakanjenis-jenis advokasi di atas, tidak ada pretensi untuk membuat petayang komprehensif. Ini lebih merupakan gambaran awal dan kasar,yang selanjutnya perlu dihaluskan, diidentifikasi siapa pelakunya,sasarannya, medianya, dan sebagainya. Perlu pula dilihat bahwa suatu gerakan advokasi bisa menggunakan beberapa jenis advokasi sekaligus untuk menghadapi satu kasus. Jadi persoalannya mungkin lebih pada integrasi beberapa pendekatan, tapi juga, terkadang, melakukanpilihan, untuk kasus-kasus tertentu, mana jenis advokasi yang lebih efektif, mana juga yang mungkin justru kontra-produktif.
Dalam kasus-kasus tertentu, seperti misalnya kasus SyiahSampang, semua jenis advokasi di atas sampai tingkat tertentu digunakan. Di sini ada kasus Tajul Muluk yang dituduh melakukan penodaan agama (dan disidang dengan menggunakan Pasal 156 aKUHP yang merupakan turunan UU Pencegahan Penodaan Agama), lalu prosesnya berlanjut hingga ke Mahkamah Agung; lebih jauh, Pasal yang digunakan untuk memvonisnya diajukan ke Mahkamah Konstitusi; selain itu, para penyerang komunitas Syiah diajukan ke pengadilan; dan di samping itu, upaya-upaya resolusi konflik antar komunitas Syiah itu (yang sejak Agustus 2012 terusir dan menjadi pengungsi di GOR Sampang, lalu dipindahkan ke sebuah rusun diSidoarjo) dengan komunitas penyerangnya diupayakan juga. Dapat dibayangkan kesulitan advokasi untuk kasus yang berdimensi demikian banyak dan melibatkan beragam aktor maupun lembaga pengadvokasi.
Pemetaan di atas didasarkan pada pengamatan advokasi yang telah terjadi di Indonesia selama ini, khususnya dengan memusatkan perhatian pada masa setelah Reformasi. Buku Kedua akan memberikan beberapa gambaran yang lebih terinci untuk beberapa jenis advokasi.
Di bawah ini akan dilihat potret besarnya saja. Hingga sekitar tahun 2008, wacana mengenai pluralisme berkembang luar biasa. Tak hanya muncul di buku-buku, perdebatan mengenai pluralisme teologis juga marak di media massa (majalah majalah, koran, radio, televisi, juga media elektronik) dan forum forum publik. Fatwa MUI pada 2005 yang mengharamkan pluralisme (dalam artian teologis yang sangat spesifik sebagaimana diungkapkan definisinya) menjadi impetus tambahan yang membuka debat-debat teologis yang tajam. Advokasi yang banyak dilakukan sebagian besar berbentuk peningkatan pengetahuan dan kesadaran melalui diskusi diskusi, penerbitan buku dan pendidikan informal, khususnya dengan penggunaan argumen tekstual keagamaan untuk melegitimasi pluralisme.9 Yang berkembang cukup pesat juga di masa ini, sebagiannya tentu merupakan reaksi dari konflik-konflik keagamaan besar di tahun tahun pertama Reformasi, adalah dialog-dialog antarumat beragama.Mulai sekitar tahun 2005, ada kecenderungan lain yang meskipuntelah dimulai di tahun-tahun sebelumnya namun baru menguat, yaitumakin banyaknya kasus-kasus hukum menyangkut beberapa minoritasagama. Sebagaimana dibahas di atas, dua jenis kasus utama adalah yangterkait dengan tuduhan penodaan agama dan pendirian rumah ibadah,yang keduanya amat terkait dengan (meskipun tidak harus selalubersumber pada) dua regulasi utama yang bermasalah, yaitu mengenaipenodaan agama dan pendirian rumah ibadah. Merespon tantangan ini, mulai sekitar tahun 2005, advokasi hukum untuk kasus-kasus itu pun berkembang, dalam kerangka pembelaan kebebasan beragama dan berkeyakinan, khususnya untuk kasus-kasus tuduhan penodaan agama.
Sebetulnya pada tahun 2003 telah dibentuk Jaringan Kerja Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, setelah sebelumnya beberapa masalah administrasi kependudukan di kalangan penghayat Sunda Wiwitan (Cigugur, Jawa Barat) mengemuka. Namun, menurut Uli P. Sihombing, di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta isu KBB baru menjadi perhatian khusus setelah kasus penyerbuan Ahmadiyah di Parung pada Juli 2005. Di sekitar waktu yang sama, ada pula kasus Yusman Roy (shalat dua bahasa) yang ditangani LBH Surabaya, dan kasus Lia Eden dan kelompoknya yang beberapa kali masuk ke pengadilan sebagai kasus penodaan agama. KBB pun menjadi kerangka yang makin kuat dalam advokasi.11 Kasuskasusyang masuk ke ruang persidangan itu, dalam pengalaman LBH Jakarta, menjadi sarana untuk memperkenalkan instrumen-instrumen HAM terkait hak atas kebebasan beragama. Di luar ruang persidangan pun muncul wacana baru mengenai kebebasan beragama. (Hidayat, Isnur dan Yonesta 2011, 2-3) Selain mengadvokasi kasus-kasus spesifik itu, ada sebuah terobosan penting untuk menjawab tantangan ini dari hulunya, yaitu dengan maju ke Mahkamah Konstitusi, khususnya terakit UU Pencegahan Penodaan Agama, pada 2010. Beberapa lembaga dan individu bekerjasama, selama beberapa bulan sidang-sidang di MK itu banyak diliput media massa, namun putusan akhir MK adalah mempertahankan UU tersebut. Pada tahun 2013, Pasal 156a KUHP yang merupakan turunan UU itu diajukan lagi ke MK, kali ini oleh beberapa korban, di antaranya Tajul Muluk, pemimpin Syiah di Sampang, dan keputusannya tetap tak berubah. Perdebatan hangat yang muncul khususnya pada 2010 sangat instruktif: di sini ide KBB menjadi pusat argumen pemohon, sementara posisi pemerintah, yang didukung MK, adalah pembatasan kebebasan demi mempertahankan kerukunan.
Terlepas dari hasil akhirnya, peristiwa ini menandai babak baru dalam advokasi untuk pluralisme dan KBB di Indonesia. Meskipun MK sempat menyarankan dilakukannya revisi atas UU penodaan agama itu, DPR dan Pemerintah belum menindaklanjutinya. Pada tahun 2012, ketika Indonesia mendapat giliran melaporkan pelaksanaan HAM dalam forum Universal Periodic Review (UPR) di Dewan HAM PBB, muncul saran agar pemerintah menilai ulang dan membatalkan UU itu, namun saran ini ditolak pemerintah.12 Perlu dicatat pula, UPR membuka peluang bagi jenis lain advokasi kelompok masyarakat sipil, yang juga sudah dijalankan beberapa kelompok di Indonesia, yaitu untuk membuat laporan tandingan dari yang diajukan pemerintah, yang diharapkan membantu menekan pemerintah untuk bertindak.

G.    Metode Penelitian

1.      Jenis dam Sifat Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan ( field reasearch) yaitu penelitian yang mengambil data primer lapangan, daerah atau lokasi tertentu[11] . maksudnya adalah penelitian ini di arahkan untuk mengetahui pola advokasi yang di lakukan oleh tokoh agama ( Kiai ) dalam menyelesaikan kasus yang di hadapi oleh kelompok Agama Minoritas dalam hal ini adalah Agama Baha’i di desa Cebolek. Kemudian hasilnya didiskripsikan dan dianalisis secara kualitatif untuk mencapai pemahaman yang komprehensif.
2.      Pendekatan
Pendekatan yang di gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif, dimana masalah dipecahkan melalui penyelidikan dengan menggambarkan keadaan subyek atau obyek penelitian berdasarkan fakta – fakta dan kajian yang ditemukan.[12]
3.      Penentuan Sumber Data
Sumber utama data penelitian adalah yang memiliki data mengenai variabel – variabel yang di teliti[13]. Adapun data yang akan di peroleh dari sumber adalah sebagai berikut :
a.       Data Primer
Data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data. Dalam penelitian ini akan menggunakan sumber data primer antara lain [14]:
v  Personyakni sumber data yang bisa memberikan data berupa jawaban lisan melalui wawancara atau jawaban tertulis. Sumber data ini bisa di peroleh dari tokoh agama ( Kiai ) kepala desa, modin, carik, tokoh Baha’i, masyarakat sekitar desa Cebolek responden wawancara dalam penelitian ini terdiri dari :
1.      Kia Liwauddin ( Pengasuh PP. Mansajul Ulum Cebolek )
2.      Kiai Zubair ( Pengasuh PP. Djannatul Huda Cebolek )
3.      Kiai Zaenuddin ( Pengasuh PP. Nurwiyah Cebolek)
4.      Kepala Desa Cebolek
5.      Modin Cebolek
6.      Kepala Baha’i Cebolek
7.      Salah Satu Anggota Baha’i
8.      Masyarakat Cebolek ( Umum )
v  Place, yakni tempat dimana penelitian ini di laksanakan. Place dalam penelitian ini meliputi keadaan tidak bergerak dan bergerak, keadaan tidak bergerak seperti kondisi tempat melakukan kegiatan atau aktivitas agama baha’i itu berlangsung, atau dimana tokoh agama tersebut melaksanakan kegiatan advoaksi di desa Cebolek.
4.      Data Sekunder
Data sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data. Dalam hal ini penulis mendapatkan data melalui paper, yakni sumber data yang menyajikan tanda – tanda berupa huruf, angka, gambar, atau simbol – simbol lain. Sumber data ini adalah data dokumen tertulis maupun dokumentasi yang di miliki oleh tokoh agama, kepala desa, dan masyarakat . penulis juga melakukan kepustakaan terhadap buku – buku, jurnal – jurnal ilmiah dan sumber kepustakaan lainnya.
5.      Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan beberapa teknik untuk mengumpulkan data, semntara instrumen dalam penelitian ini adalah penelitian sendiri. Beberapa teknik pengumpulan data yang di maksud meliputi :
a.       Wawancara ( interview)
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan ( orang yang di wawancarai ) dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide)[15]. Wawancara di lakukan dengan instrumen wawancara mendalam ( in – depth interview) dan bebas tepimpin, dimana pewawancara bebas bebas menanyakan apa saja tetapi juga membawa sederetan pertanyaan lengkap dan terperinci ( interview terstruktur) tentang data yang akan dikumpulkan. Adapun infroman yang dapat memberikan penjelasan berkaitan dengan penelitian ini adalah para Tokoh Agama, Kepala Desa, Kepala Agama Baha’i dan Masyarakat umum desa Cebolek.
b.         Observasi
Observasi yaitu mengumpulkan data yang di lakukan melalaui pengamatan dan pencatatan gejala – gejala yang tampak pada obyek penelitian yang pelaksanaannya langsung pada tempat dimana suatu peristiwa, keadaan atau situasi sedang terjadi[16]. Observasi yang dilakukan yang adalah observasi non – partisipatif dan tidak terstruktur, dimana peneliti hanya sebagai pengamat subjek penelitian atau hanya sebagai pengamat independen, dan observasi yang tidak dipersiapkan secara sistematis.
c.       Dokumentasi
Dokumentasi yakni mencari data mengenai hal – hal atau variabel – variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti. Foto dan sebagainya.[17]
6.      Analisis Data
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang di peroleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan observasi, dengan cara mengorganisasikan data dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit – unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan di pelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah di pahami oleh diri sendiri maupun orang lain[18].
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan teori analisis data secara interaktif dari Miles dan Huberman yang menyatakan bahwa analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif melalui proses colecting data. Data reduction, data display, dan verivication sebagai berikut :[19]

a.       Collecting Data dengan mengumpulkan data yang di butuhkan dalam penelitian melalui metode yang telah di susun. Data yang peniliti kumpulkan meliputi keterangan – keterangan informan melalui wawancara, kegiatan dan interaksi dengan masyarakat, tokoh agama, kepala desa, tokoh baha’i melalui observasi, data pendukung yang bersifat literasi dari dokumen yang di miliki oleh kepala desa, tokoh agama, tokoh baha’i maupun dari sumber lain yang terkait.
b.      Data Reduction dengan merangkum data yang telah di peroleh untuk dipilah hal – hal yang pokok dan berfokus pada data yang penting di dan di butuhkan. Data yang peneliti reduksi antara lain berkaitan dengan informan yang peneliti peroleh melalui wawancara. Peneliti hanya menggunakan keterangan yang berkaitan dengan profil desa serta terkait program keagaamaan desa cebolek.
c.       Data Display dengan menyajikan data dalam bentuk uraian singkat, bagian, atau hubungan antar kategori dengan teks yang bersifat naratif. Penyajian data dalam hasil penelitian ini anatar lain meliputi gambaran umum lokasi penelitian dimana advoaksi kelompok agama minoritas itu di laksanakan. Di sisi yang lain peran tokoh agama  (Kiai) dalam menyelesaikan problematika yang di hadapi oleh komunitas baha’i  yang merupakan pengolahan data di lapangan dan analisa data peneliti yang menjawab permasalahan penelitian dalam penelitian ini.
d.      Verivication/Conclusion Drawing sebagai penarikan kesimpulan yang dapat menjawab rumusan masalah penelitian. Kesimpulan yang peniliti susun terkait peran tokoh agama ( Kiai ) dalam advokasi kelompok agama minoritas. Peneliti menarik kesimpulan dari tersebut melalui gambaran pola advoaksi yang berhasil di capai oleh tokoh agama ini.

H.    Validitas Data
Penelitian ini menggunakan teknik trianggulasi data sebagai uji validitas data. Tehnik trianggulasi yang peneliti aplikasikan adalah trianggulasi yang peneliti aplikasikan adalah trianggulasi sumber atau infroman, untuk menguji kredibilitas sumber dan data dengan cara mengecek data yang telah di peroleh melalui beberapa sumber atau informan yang berbeda[20].
Dalam penelitian ini, untuk menguatkan data – data yang di peroleh, maka akan di lakukan croos check infromasi dan data yang di peroleh dari lapangan dengan informasi lain untuk memahami kompleksitas fenomena sosial ke sebuah esensi yang sederhana. Metode tersebut adalah trianggulasi data. Menurut Patton, ada empat macam triangggulasi, di antaranya adalah melalui sumber, metode, penyidik, dan teori. [21]
Pada penelitian ini trianggulasi dilakukan dengan cara mengecek data yang sudah di peroleh melalui sumber yang berbeda dan dengan teknik yang berbeda. Hal tersebut dapat di lakukan dengan :
1.      Membandingkan data dari hasil observasi dengan data hasil wawancara.
2.      Membandingkan hasil wawancara dari data tertulis, foto dan dokumentasi.

I.       Sistematika Pembahasan
Hasil penelitian ini akan di sajikan dalam empat bab, masing – masing bab memaparkan informasi yang penulis sajikan dalam sub bab, yakni :
Bab I, sebagaimana yang telah di uraikan di atas, bab ini berisi pendahuluan yang berisikan tentang : latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan, manfaat penelitian, kajian pustaka, kerangka teori, metode penelitian, sistematika pembahasan.
Bab II, bab ini akan memberikan gambaran secara umum tentang profil Desa Cebolek, Agama Baha’i  meliputi data demografis, letak geografis, jumalah lembaga pendidikan, dll. Adapun tentang agama baha’i meliputi ajaran, doktrin, ritual, populasi di dunia dsb.
Bab, III. Menjelaskan uraian data yang di peroleh dari hasil penelitian dan analisisnya.
Bab IV, penutup yang mencakup kesimpulan, saran dan tawaran.





Daftar Pustaka
Adeney – Risakotta, Bernard dkk, Mengelola Keragaman di Indonesia, Bandung : Pustaka Mizan, 2012.
Azwar, Saifudin, Metodologi Penelitian Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997
W. Hafner, Robert, Mengelola Keragaman Dan Kebebasan Beragama, Yogyakarta : CRCS Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 2014.
Arikunto, Suharisme, Prosedur Penelitian, Sebuah Pendekatan Praktek, Jakarta : Rieneka Cipta, 2002.
Bungin, Burhan, Penelitian Kualitaitf: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial lainnya, Jakarta : Kencana, 2008.
Endarsawarna, Suwardi, Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan, Yogyakarta : Pustaka Widyatama, 2006.
Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2007.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Ed. II, cet. II Bandung Alfabeta, 2008.
  Susanto, Edi, Skripsi Peran advokasi perawat, Perawat pasien Universitas UIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta 2013.
Ridlo,Muhammad, Skripsi Kinerja Pekerjaan sosial dalam Advokasi anak yang berhadapan dengan hukum. Universitas Gajah Mada Tahun 2014.
Website resmi Agama Baha’i di Indonesia
Wawancara dengan Kiai Liwauddin pada tanggal 20 Januari 2016





[1] Bernard Adeney – Risakotta, Mengelola Keragaman di Indonesia ( Bandung : Mizan Pustaka, 2012) hlm. 23
[2] Robert W. Hafner, Ihsan Ali – Fauzi, Mengelola Keragaman dan Kebebasan Beragama di Indonesia ( Yogyakarta : CRCS Universitas Gadjah Mada, 2014), hlm 11 – 12
[3] Di ambil dari website resmi Agama Baha’i di Indonesia
[4] Wawancara dengan Kiai Liwauddin pada tanggal 20 Januari 2016

[6] Informasi dari Kiai Liwauddin saat melakukan wawancara pada tanggal 20 Januari 2016
[7]Edi Susanto, Skripsi Peran advokasi perawat, Perawat pasien Universitas UIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta 2013.
[8] Muhammad Ridlo, Skripsi Kinerja Pekerjaan sosial dalam Advokasi anak yang berhadapan dengan hukum. Universitas Gajah Mada Tahun 2014.
[9] Robert W. Hafner, Ihsan Ali – Fauzi, Mengelola Keragaman dan Kebebasan Beragama di Indonesia ( Yogyakarta : CRCS Universitas Gadjah Mada, 2014)
[10]Robert W. Hafner, Ihsan Ali – Fauzi, Mengelola Keragaman dan Kebebasan Beragama di Indonesia ( Yogyakarta : CRCS Universitas Gadjah Mada, 2014)hlm.15
[11] Burhan. Bungin, Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial lainnya ( jakarta : Kencana, 2008), hlm 67
[12] Burhan. Bungin, Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial lainnya ( jakarta : Kencana, 2008), hlm 68 - 69

[13] Saifudin Azwar, Metodologi Penelitian ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 34 - 35
[14] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, ( Jakarta : Rineka Cipta, 2006), hlm. 129
[15] Burhan Mungin, Penelitian Kualitatif.....,hlm. 108.
[16] Hadi Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, ( Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. 2007) hlm. 100.
[17] Suharsimi Arikunto. Prosedur....hlm. 231.
[18] Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R& D ( Bandung : Alfabeta, 2008) cet. V. Hlm 244
[19]Ibid, hlm. 246
[20] Sugiyono, Metodepenelitian....,hlm 247
[21] Suwardi Endraswarma, Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan, ( Yogyakarta : Pustaka Widyatama, 2006).hlm. 110

Comments

Popular posts from this blog

Selayang Pandang Masjid Jami' Kajen dan beberapa Petilasan KH Ahmad Mutamakkin

Sejarah Syech K.H. Ahmad Mutamakkin Kajen Margoyoso Pati